Di Saat Imam al Ghazali Uzlah
السلام عليكم ورحمة الله وبر كتة
Hijrahnya Imam Ghazali
Di kalangan umat Islam terutama kaum
santri tentu tidak asing lagi mendengar nama ulama besar yang mempunyai nama
lengkap Syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Ghazali. Beliau adalah
sosok ilmuwan Islam terkemuka abad 10. Dengan karya-karyanya yang jumlahnya
ratusan kitab telah mengantarkan beliau menjadi ulama besar yang disegani oleh
ulama-ulama dunia.

Suatu hari, ayah Imam Ghazali
berwasiat kepada sahabat karibnya, “Wahai sahabatku, jika aku nanti meninggal
dunia, aku titipkan kedua putraku kepadamu, tolong masukkan mereka ke madrasah
atau mejelis ilmu agar mereka menjadi orang yang berilmu”. Sebelum ayah Imam
Ghazali meninggalkan rumah sahabat karibnya itu, ia memberikan sejumlah uang
untuk keperluan kedua putranya itu dari tabungan gaji sebagai buruh pemintal
wol.
Setelah ayah Imam Ghazali wafat,
beliau dan adiknya disekolahkan di madrasah sekitar tempat tinggalnya oleh
sahabat karib ayahnya. Selang beberapa tahun, beliau dan adiknya pun tumbuh
menjadi remaja yang pandai dan taat. Karena terbatasnya biaya yang diamanahkan
ayah beliau, sahabat karib ayahnya pun mencari beasiswa di kota Baghdad, Irak
yang merupakan pusat ilmu pengetahuan pada masa itu. Akhirnya, beliau dan
adiknya diterima di salah satu Yayasan Pendidikan yang berada di Kota Baghdad.
Yayasan itu bernama Yayasan Pendidikan Islam An-Nidhamiyyah.
Seiring berjalannya tahun, beliau
dan adiknya tumbuh menjadi pengkaji-pengkaji ilmu yang matang. Dengan
kecerdasan yang dimiliki keduanya dan kesederhaan hidup yang dijalaninya.
Beliau dan adiknya akhirnya menjadi ulama besar di kota Baghdad. Namun,
keduanya memilih jalan hidup yang berbeda. Imam Ghazali memilih hidup di Kota
Baghdad dengan mengajarkan ilmu dan mengembangkan pemikiran Islamnya. Sedangkan
adiknya memilih berdakwah dan mengabdi kepada umat di daerah pedesaan negeri
Irak dengan mendalami dan mengamalkan ilmu tasawufnya.
Suatu hari, Imam Ghazali didera
kebingungan dan keresahan yang berat dalam pikirannya. Beliau berfikir, “Selama
ini, aku sudah banyak sekali mengarang kitab, mengajar ilmu dan melayani umat
dengan pendidikan. Namun, pikiran ini seolah resah saat aku bergaul dengan
pejabat, orang-orang kaya, akademisi dan orang-orang terpandang di negeri ini.
Ada apa gerangan sehingga aku semakin resah dan tidak tahu arah”.
Suatu ketika, adik beliau
bersilaturrahim ke rumah beliau yang serba lengkap. Karena, sudah sewajarnya
beliau adalah seorang Guru Besar di Universitas An-Nidhamiyyah. Setelah
berbincang-bincang lama, beliau mengajak adiknya untuk shalat berjama’ah. Dan
beliau menjadi Imam shalatnya. Setelah baru mendapat satu raka’at, adik beliau
memisahkan diri dari jama’ah (mufaraqah). Dalam hati beliau bergumam, “Mengapa
adik saya mufaraqah?”. Sehabis menyelesaikan shalat dan dzikirnya, beliau pun
bertanya kepada adiknya, “Wahai Ahmad, ada apa gerangan engkau memisahkan diri
dari shalat berjama’ah tadi?”. Adiknya pun menjawab, “Wahai kakanda, ketika di
tengah-tengah shalat tadi, aku melihat tubuh dan sajadah engkau berlumuran
darah sehingga aku pun memisahkan diri dari shalat berjama’ah”.
Beliau pun
kaget dengan jawaban adiknya itu, beliau mengetahui bahwa adiknya telah
mendapat derajat Mukasyafah (dapat mengetahui jalan pikiran orang lain karena
dekat dengan Allah). Beliau lalu menuturkan, bahwa saat baru dapat satu
raka’at, pikiran beliau terlintas tentang masalah darah wanita (haid). Sejak
saat itu, Imam Ghazali pun mulai berhijrah dari hidup yang serba kecukupan
menuju hidup yang sangat sederhana. Beliau memutuskan untuk berpindah dari kota
Baghdad menuju perkampungan terpencil yang tidak ada penduduk maupun kemewahan
dunia.

Inilah perjalanan spiritual Imam
Ghazali dalam menggapai derajat tinggi di sisi Allah swt. Dulu, beliau senang
berkumpul dengan pejabat, orang-orang kaya, akademisi dan orang-orang
terpandang. Sekarang beliau menjaga jarak dengan mereka demi kedekatan dan
kecintaannya kepada Allah swt. Hijrahnya beliau dari kehidupan yang sarat
duniawiyah menuju kehidupan yang tasawuf, zuhud dan mendekatkan diri kepada
Allah swt. berjalan sampai beliau wafat pada hari Senin tanggal 14 Jumadal
Akhir tahun 505 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 1 Desember tahun 1111
Miladiyah di kota kelahirannya, Thus, Khurasan, Iran.
Wallahu A’lam
Sumber : Mauidhah KH. Yahya
Al-Mutamakkin (Pengasuh Ponpes Madinah Munawwarah, Semarang)
Komentar