Mengenal KH Abbas Djamil Buntet
السلام عليكم ورحمة الله وبر كتةKH. Abbas Buntet (1879 – 1946) Pakar Kitab Kuning dan Ilmu Kanuragan

Kualitas pengajian dan
kharisma seorang kiai merupakan daya tarik utama dalam system pendidikan
pesamtren Salaf. Dan ini tetap dipertahankan dalam system pendidikan pesantren
Buntet sebabagi sosok pesantren salaf yang tidak pernah kehilangan pesona dan
peran dalam dunia modern.
Tersebutlah
saat ini peran sosial politik yang diambil kiai Abdullah Abbas, selalu menjadi
rujukan para pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya banyak, tetapi
memang nasehat dan pandangannya sangat berisi. Semuanya itu tidak diperoleh
begitu saja, melainkan hasil pergumulan panjang, yang penuh pengalaman dan
pelajaran, sehingga membuat para tokoh matang dalam kancah perjuangan.

Latar
Belakang Keluarga KH Abbas Djamil Buntet
Kiai Abas
adalah putra sulung KH. Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah
1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Jamil
adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren
Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon. Ia
menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai
anak sultan Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777.
Tetapi Jabatan terhormat
itu kemudian ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggungjawab
terhadap agama dan bangsa. Selain itu juga karena sikap dasar politik Mbah
Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah Belanda – karena penjajah
secara politik saat itu sudah “menguasai” kesultanan Cirebon.
Setelah
meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pesantren
tahun 1750 di Dusun Kedung malang, desa Buntet, Cirebon yang petilasannya dapat
dilihat sampai sekarang berupa pemakaman para santrinya. Untuk menmghindari
desakan penjajah Belanda, ia selalu berpindah-pindah.
Sebelum berada di Blok
Buntet, (desa Martapada Kulon) seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah
yang disebut Gajah Ngambung. Disebut begitu, konon, karena Mbah Muqayyim
dikhabarkan mempunyai gajah putih.
Setelah itu
juga masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah
Cirebon), lantas ke daerah yang diebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, lantara begitu
gencarnya desakan penjajah Belanda (karena sikap politik yang non-cooperative),
Mbah Muqayyim sampai “hijrah” ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah, sebelum
kembali ke daerah Buntet, Cirebon.
Hal itu dilakukan karena hampir setiap hari
tentara penjajah Belanda setiap hari melakukan patroli ke daerah pesantren.
Sehingga suasana pesantren, mencekam, tapi para santri tetap giat belajar
sambil terus begerilya, bila malam hari tiba.
Semuanya itu
dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Qoyyim selalu mendampingi
mereka. Sementara bimbingan Mbah Qoyyim selalu meraka harapkan sebab kiai itu
dikenal sebagai tokoh yang ahli tirakat (riyadlah) untuk kewaspadaan dan
keselamatan bersama.
Ia pernah berpuasa tanpa putus selama 12 tahun. Mbah
Muqayyim membagi niat puasanya yang dua belas tahun itu dalam empat bagian.
Tiga tahun pertama, ditunjukan untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun
kedua untuk keselamatan anak cucuknya. Tiga tahun yang ketiga untuk para santri
dan pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk keselamatan
dirinya.
Saat itu Mbah Muqayyimlah peletak awal Pesantren Buntet, sudah
berpikir besar untuk keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu pesantren
rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut. Sejak zaman
pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama,
pesantren ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.
Masa
Pembentukan
Dengan
demikian pada dasarnya Kiai Abbas adalah dari keluarga alim karena itu pertama
ia belajar pada ayahnya sendiri. KH. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar
ilmu agama baru pindah ke pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon dibawah
pimpinan Kiai Nasuha.
Setelah itu, masih didaerah Jawa Barat, ia pindah lagi ke
sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari dibawah pimpinan Kiai Hasan. Baru
setelah itu keluar daerah yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah,tepatnya di
kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.
Setelah
berbagai ilmu keagamaan dikuasai, maka selanjutnya ia pindah ke pesantren yang
sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah
asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi
pendiri NU.
Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas,
sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang
terpandang seperti KH. Abdul Wahab Chasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek
berdirinya NU) dan KH. Abdul Manaf turut mendirikan pesantren Lirboyo, kediri
Jawa Timur.
Walaupun
keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu
tetap berniat memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah.
Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu di sana masih ada ulama Jawa
terkenal tempat berguru, yaitu KH. Machfudz Termas (asal Pacitan, Jatim) yang
karya-karya (kitab kuning) -nya termasyhur itu.
Di Mekkah, ia kembali
bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab
Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang
Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukminin (orang-orang Indonesia
yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH. Cholil Balerante, Palimanan,
KH. Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.
Memimpin
Pesantren Buntet
Dengan
bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa,
kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta
upayanaya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah
pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren
Buntet Waruisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal
keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.
Sebagai
seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning,
namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang
saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang
banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para
santri.
Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga
diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih
mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fikih para alumni
Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fikih memang
merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut
kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan
sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seorang ulama
yang alim dan berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada
para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau ada
santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai
Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab
tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.
Walaupun
namanya sudah terkenal diseantero pulau jawa, baik karena kesaktiannya maupun
karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang
beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan
hamparan tikar yang terbuat dari pandan.
Di ruang terbuka inilah kiai Abbas
menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Dhuhur atau Ashar, sebuah
langgar yang berada di pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu.
Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari
daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur.
Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat
yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Melawan
Penjajah Belanda
Walaupun
saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap
gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di
tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti lazimnya para kiai. Dalam
tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga
dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib
dipelajari.
Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat
dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.
Oleh karena
itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu
sedang menuju puncaknya, makaa pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak
untuk mencapai kemerdekaan.

Tampaknya ia mewarisi
darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana
Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut
sudah merasuk ke cucu-cucunya. Karena itu Kiai Abbas mulai merintas perlawanan,
dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.
Tentu saja
yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula,
melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Maka begitu kedatangan
tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka, karena itu Kiai
Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar pribadinya.
Dalam kamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga
membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi
berbagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka
bertambah.
Dengan
gerakan itu maka pusantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum
Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet saat itu
menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam
barisan Hizbullah.
Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan
yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan
berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa
semasa penjaajahan Jepang.
Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk
melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua
militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH.
Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH.
Mujahid.
Karena itu
muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon
seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika
melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah
Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan
Cimaneungteung yang terletak didaeah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup
Kecapantan Cipancur, Kuningan. Daerah tesebut terus dipertahankan sampai
terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua
tentaranya hizrah ke Yogyakarta.
Selain
mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya
organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di
bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet
Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan
musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah
front terdepan.
Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang
gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai Akib, Mawardi,
Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.
Basis
kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar
penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa
itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22
Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asy’ari
guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris.
Tetapi kiai
Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu –
sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya datang ke Surabaya. Memang setelah
itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya
KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang
kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu.
Atas restu Hadratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya
tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung
dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah
yang hendak menguasai kembali republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi,
Cianjur dan lain-lain.
Dialah
santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri
maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus
yang berkaitan dengan keahliannya itu.
Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas
memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan
pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan
perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa
terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng.
Sekitar tahun 1900, KH. Abbas
datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh Zamzam, Benda Kerep,
KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu
para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak
lagi mengganggu pesantren tebuireng, kapok tidak berani mengganggu lagi.
Tradisi pessantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling
menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak berjalan, karena itu semua
merupakan tradisi dalam totalitasnya.
Berjuang
Hingga Akhir Hayat
Walaupun
revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang,
tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya
akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu
mengikuti perkembangan politik, baik di lapanagan maupun di meja perundingan.
Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus digelar,
terutama bagi kalangan muda yang baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah juga
dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya penjajahan.
Di tengah
gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan,
semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu bepata
kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika
sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda
dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu.
Mendengar hail perjanjian itu
Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh
sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin
gerilya itu wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946
Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.
Hingga saat
ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa
represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya
dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan,
sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal.
Akibatnya pada masa
ramainya gerakan reformasi pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat
diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalangan NU maupun
komunitas lainnya. Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis
Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai
Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan. ( Oleh: Abdul Munim DZ).
Sumber : www.nu.or.id
Komentar